Ada masa ketika saya mengira mendidik anak hanyalah soal memberi aturan, menyediakan sekolah, dan memastikan mereka tumbuh “baik-baik saja.” Tapi ternyata, menjadi orang tua di era digital jauh lebih rumit daripada sekadar menyediakan kebutuhan fisik.
Ini tentang menemani anak tumbuh di tengah dunia yang bergerak terlalu cepat — dunia yang kadang terasa tidak punya tombol jeda.
Saya memiliki dua anak.
Yang pertama, seorang perempuan berusia sepuluh tahun. Cerdas, kritis, dan penuh rasa ingin tahu.
Yang kedua, seorang laki-laki yang baru berusia dua tahun. Ceria, enerjik, dan sedang gemar meniru apa pun yang dilakukan kakaknya — termasuk cara menatap layar ponsel saya.
Dari merekalah, saya belajar bahwa mendidik anak tidak bisa lagi mengandalkan metode masa lalu. Dunia mereka berbeda dengan dunia saya dulu, dan tugas saya bukan sekadar mengajar — tapi menuntun, mendampingi, dan memberi arah.
 |
| Mendidik Anak |
Pola Asuh Ramah Anak: Antara Kelembutan dan Ketegasan
Saya dan istri sepakat untuk menerapkan pola asuh ramah anak.
Artinya, kami berusaha menjauh dari pola yang berbasis pada hukuman, dan lebih fokus pada komunikasi, empati, serta pembentukan kesadaran diri.
Anak-anak bukan robot yang tinggal diatur. Mereka manusia kecil yang sedang belajar memahami dunia — dan sering kali, dunia itu berputar lebih cepat dari kemampuan mereka memprosesnya.
Karena itu, kami berusaha lebih banyak mendengarkan daripada menuntut.
Namun, ramah bukan berarti bebas tanpa batas.
Kelembutan tanpa arah bisa menyesatkan, dan kasih sayang tanpa ketegasan bisa melemahkan.
Maka, kami belajar menyeimbangkan: kapan harus memeluk, dan kapan harus berkata tegas.
Membatasi Gadget: Tentang Dunia Nyata yang Tak Boleh Hilang
Gadget bukan musuh. Ia adalah alat. Tapi tanpa kendali, alat itu bisa dengan mudah mengambil alih peran orang tua.
Saya sering melihat anak-anak yang sudah pandai menggulir layar, tapi gagap ketika diminta berbicara dengan orang dewasa.
Atau anak-anak yang tahu banyak hal dari video pendek, tapi tak bisa bertahan lima menit membaca buku.
Karena itu, sejak dini kami menetapkan batas yang jelas terhadap penggunaan gadget.
Bukan karena ingin menutup dunia digital, tapi karena kami ingin anak-anak mengenal dunia nyata terlebih dahulu.
Mereka perlu tahu bagaimana rasanya berlari di halaman, bagaimana aroma tanah setelah hujan, bagaimana serunya bermain dengan teman tanpa sinyal dan layar.
Untuk anak pertama, kami membangun kesadaran digital secara bertahap. Dia tahu kapan boleh menggunakan gawai, dan kapan harus menutupnya. Tidak selalu mudah — kadang ada negosiasi panjang — tapi proses itu mengajarkan disiplin yang datang dari dalam, bukan karena takut dimarahi.
Homeschooling dan Sekolah: Menemukan Irama Belajar yang Tepat
Saya percaya setiap anak punya ritme belajarnya sendiri.
Karena itu, kami memilih untuk menggabungkan sekolah formal dengan homeschooling bagi anak pertama.
Sekolah memberi struktur dan sosialisasi, sementara homeschooling memberi ruang untuk eksplorasi dan kebebasan belajar sesuai minatnya.
Dia kini duduk di kelas empat SD, dan kami memberi fokus lebih pada penguasaan bahasa Inggris — bukan sekadar mata pelajaran, tapi sebagai keterampilan hidup.
Belajar di rumah memberi kesempatan untuk menjadikan setiap momen sebagai kelas: menonton film menjadi latihan listening, membaca cerita menjadi latihan speaking, bahkan bermain boneka pun bisa jadi media storytelling.
Yang paling menyenangkan, kami belajar bersama — bukan karena tuntutan kurikulum, tapi karena rasa ingin tahu yang tulus.
Cita-Cita dan Goal Setting Sejak Dini
Anak-anak butuh arah.
Bukan karena kita ingin mereka cepat “sukses,” tapi karena mereka perlu tahu mengapa mereka belajar, berusaha, dan bertumbuh.
Sejak kecil, saya sudah mengenalkan mereka pada konsep cita-cita dan perencanaan. Bukan dengan buku motivasi atau seminar, tapi lewat obrolan sederhana di meja makan.
Saya tanya anak pertama:
“Kalau nanti sudah besar, kamu ingin jadi apa?”
Dia menjawab dengan mantap: “Aku ingin sukses di bidang bisnis.”
Sementara adiknya, meski masih dua tahun, sudah sering mendengar kata “investasi.” Kadang dia menirukan, meski belum tahu apa artinya. Tapi saya percaya, kata-kata adalah benih, dan kelak benih itu akan tumbuh menjadi keyakinan.
Saya dan istri mulai mengenalkan konsep menabung, bahkan menabung dalam bentuk crypto — khususnya Bitcoin.
Bukan soal nominalnya, tapi soal makna: menabung adalah latihan menunda kesenangan, membangun visi jangka panjang, dan mengenal nilai dari waktu.
Kami ingin anak-anak memahami bahwa dunia keuangan pun bisa menjadi sarana belajar tentang tanggung jawab.
Keteladanan: Bahasa yang Tak Pernah Salah Dengar
Anak-anak bukan hanya meniru ucapan, tapi juga kebiasaan.
Mereka merekam setiap tindakan, bahkan yang kita anggap sepele.
Maka saya berusaha berhati-hati — bukan dengan berpura-pura sempurna, tapi dengan menjadi versi terbaik yang bisa mereka lihat setiap hari.
Ketika saya membaca buku, mereka belajar bahwa membaca itu penting.
Ketika saya meminta maaf, mereka tahu bahwa orang dewasa pun bisa salah.
Ketika saya menepati janji, mereka belajar tentang tanggung jawab.
Dan ketika saya gagal tapi tetap mencoba lagi, mereka melihat arti ketekunan yang sebenarnya.
Menjadi role model bukan berarti tanpa cela. Justru dalam kelemahan, anak-anak melihat bahwa kehidupan itu nyata.
Yang penting bukan kesempurnaan, tapi kejujuran dalam proses.
Belajar Bersama Anak: Sekolah yang Tak Pernah Usai
Setiap kali melihat kedua anak saya tumbuh, saya diingatkan bahwa orang tua sejati tidak pernah berhenti belajar.
Anak-anak berubah, zaman berubah, dan kita pun harus terus beradaptasi.
Kadang kita lelah, bingung, bahkan merasa gagal. Tapi di situlah letak keindahannya — karena menjadi orang tua adalah perjalanan, bukan ujian yang harus selalu sempurna.
Saya belajar bahwa mendidik anak bukan soal membuat mereka seperti yang kita mau, tapi membantu mereka menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.
Saya belajar bahwa anak-anak tidak butuh orang tua yang tahu segalanya, tapi yang mau tumbuh bersama mereka.
Dan yang paling penting, saya belajar bahwa di setiap proses mendidik, sebenarnya kita sedang mendidik diri sendiri.
Penutup: Dunia Berubah, Nilai Tetap
Kita hidup di zaman yang tak pernah berhenti bergerak.
Teknologi terus berkembang, informasi datang tanpa henti. Tapi di tengah semua itu, ada hal-hal yang tidak boleh hilang: kasih sayang, kejujuran, disiplin, dan keteladanan.
Anak-anak kita akan hidup di dunia yang lebih digital daripada yang kita bayangkan.
Namun jika fondasi nilai mereka kuat — jika mereka tumbuh dengan hati yang jujur, pikiran yang terbuka, dan jiwa yang tangguh — maka mereka akan mampu berjalan di dunia apa pun tanpa kehilangan arah.
Dan mungkin, suatu hari nanti, mereka akan berkata,
“Ayah dan Ibu tidak hanya mengajarkan kami tentang dunia, tapi tentang bagaimana menjadi manusia.”
Gabung dalam percakapan