Belajar Ulang Menjadi Orang Tua
Ada satu hal yang tidak pernah saya duga sebelumnya: bahwa menjadi orang tua ternyata adalah perjalanan belajar yang begitu panjang—dan sering kali, justru anaklah yang menjadi guru pertama kita.
Saya masih ingat masa ketika anak pertama saya lahir. Semua terasa baru, menegangkan, tapi sekaligus menenangkan. Saat itu saya mengira tugas utama orang tua adalah mengajar: mengajarkan cara berjalan, berbicara, membaca, hingga memahami dunia. Tapi pelan-pelan, seiring waktu, saya justru menyadari bahwa anaklah yang lebih sering mengajar saya—tentang kesabaran, empati, dan kejujuran.
![]() |
| Belajar Menjadi Orang Tua |
Belajar Ulang Tentang Diri Sendiri
Anak pertama selalu membawa versi baru dari diri kita. Dulu saya mungkin merasa sudah cukup tahu bagaimana menjadi orang dewasa yang “benar.” Tapi ketika dia mulai tumbuh, mulai bertanya hal-hal sederhana seperti, “Ayah, kenapa orang marah?”, atau “Kenapa kalau capek harus istirahat?”, saya seperti dihadapkan pada cermin yang jujur—cermin yang memantulkan kebiasaan, emosi, dan nilai-nilai yang selama ini saya jalani tanpa banyak pikir.
Tentang Rasa Bersalah dan Maaf yang Tumbuh Bersama
Tidak ada orang tua yang sempurna. Saya pun tidak. Kadang, karena kelelahan atau pikiran yang menumpuk, saya tergesa-gesa memarahi hal kecil. Tapi yang membuat saya terenyuh, anak pertama saya selalu lebih cepat meminta maaf—bahkan ketika bukan dia yang salah.
Dan di situlah kehangatan itu tumbuh—di antara kesalahan kecil yang disadari dan keberanian untuk memperbaikinya.
Menemukan Ritme Baru Dalam Hubungan
Kami sering berbincang tentang banyak hal: dari cita-cita bisnis yang dia impikan, hingga pandangannya tentang dunia digital yang kadang terlalu bising bagi anak seusianya. Saya tak lagi menjadi guru yang mengatur semua, melainkan teman yang menuntun dan mendengarkan.
Di era di mana layar lebih sering berbicara daripada manusia, momen-momen seperti ini adalah kemewahan tersendiri. Duduk berdampingan, berbagi cerita, tertawa tanpa distraksi. Rasanya seperti mengisi ulang energi keluarga dengan sesuatu yang tak bisa dibeli—kehadiran.
Tentang Menjadi Teladan, Bukan Sekadar Pemberi Arahan
Saya belajar, keteladanan tidak lahir dari kesempurnaan, tapi dari kejujuran. Anak tidak menuntut orang tua yang selalu benar; mereka hanya butuh orang tua yang bisa dipercaya. Yang bisa berkata, “Ayah juga sedang belajar jadi lebih baik,” dan benar-benar berusaha mewujudkannya.
Dan di sanalah pola asuh yang ramah anak menemukan maknanya: bukan tentang menuruti semua keinginan, tapi menciptakan ruang aman untuk tumbuh, bertanya, dan menjadi diri sendiri.
Menyiapkan Mereka, Menyiapkan Diri Kita
Mendidik anak di era digital memang penuh tantangan. Ada arus informasi yang deras, opini yang berisik, dan dunia maya yang kadang lebih memikat dari kenyataan. Tapi justru di sanalah seni menjadi orang tua diuji: bagaimana tetap hadir, tetap hangat, tanpa kehilangan arah.
Saya ingin anak-anak saya tumbuh dengan rasa percaya diri, tapi juga rendah hati. Kritis, tapi tetap penuh kasih. Dan itu semua berawal dari rumah—dari cara saya memeluk mereka setiap pagi, dari cara kami saling meminta maaf, dan dari cara saya belajar untuk tidak berhenti belajar.
Anak Pertama, Cermin Kehidupan
Ketika saya melihat anak pertama saya tertidur, saya sering berpikir: mungkin inilah bentuk cinta yang paling jujur. Tidak ada ambisi tersembunyi, tidak ada syarat, hanya harapan sederhana agar mereka tumbuh menjadi manusia yang baik—dan bahagia.

Gabung dalam percakapan