Menemani Tumbuh di Dunia yang Terlalu Cepat: Tentang Waktu, Layar, dan Kehadiran

Kadang saya merasa, dunia ini berlari terlalu cepat. Bahkan sebelum sempat menikmati satu fase tumbuh anak, sudah datang fase berikutnya — dengan tantangan baru yang tak kalah kompleks.

Dulu, waktu terasa berjalan pelan. Kita bisa duduk di teras sore-sore, melihat anak bermain di halaman, sambil bercakap ringan tanpa terganggu notifikasi. Tapi kini, dunia digital mengubah segalanya: ritme, perhatian, bahkan cara kita hadir.

Sebagai orang tua di era ini, saya sering bertanya pada diri sendiri — apakah saya benar-benar hadir, atau hanya berada di dekat mereka secara fisik?

Tentang Waktu
Tentang Waktu

Dunia yang Terlalu Cepat

Tidak mudah mendidik anak di era digital, dunia bukan lagi yang dulu, dunia kini terlalu cepat, sehingga kita perlu belajar ulang menjadi orang tua yang relevan dengan perkembangan zaman.

Anak pertama saya kini kelas 4 SD, dan ia hidup di dunia yang berbeda jauh dengan masa kecil saya. Dunia yang serba terhubung, serba cepat, dan sering kali—serba bising.

Berita datang setiap detik, video baru muncul tiap menit, dan algoritma bekerja lebih cepat dari pikiran kita. Semua berlomba menarik perhatian, termasuk perhatian anak-anak kita.

Sebagai orang tua, saya tidak menolak kemajuan digital. Saya paham bahwa dunia mereka nanti akan dipenuhi teknologi, dan kemampuan beradaptasi adalah bagian dari pendidikan. Tapi saya juga belajar, bahwa tidak semua yang cepat itu baik. Ada hal-hal yang perlu waktu untuk tumbuh: kedewasaan, empati, rasa ingin tahu, dan ketulusan.

Semua itu tidak bisa dibentuk lewat layar — melainkan lewat kehadiran.

Kehadiran yang Tidak Bisa Digantikan

Saya pernah membaca kalimat sederhana yang melekat di kepala:

“Anak tidak mengingat seberapa lama kita bersamanya, tapi seberapa hadir kita saat bersama mereka.”

Dan itu benar.
Saya melihat sendiri bedanya ketika saya menatap mata anak saya sambil mendengarkan ceritanya—dibanding ketika saya setengah mendengarkan sambil menggulir layar ponsel.

Anak tahu. Mereka bisa merasakannya.
Mereka tahu kapan orang tuanya benar-benar hadir, dan kapan hanya ada di situ.

Itulah kenapa saya dan istri berkomitmen membatasi paparan gadget di rumah. Kami bukan keluarga yang anti-teknologi, tapi kami ingin teknologi menjadi alat, bukan pusat kehidupan. Kami ingin anak-anak tumbuh dengan kesadaran bahwa dunia nyata jauh lebih kaya daripada layar digital.

Tentang Waktu yang Tidak Bisa Diulang

Anak kedua saya baru dua tahun.
Usianya masih di fase meniru, menatap, dan menyerap segala yang ia lihat. Kadang saat saya bekerja, dia datang membawa mainan kecilnya, hanya ingin duduk di pangkuan saya. Dulu, saya sering merasa terganggu—tapi sekarang saya tahu, momen-momen seperti itu tidak akan datang dua kali.

Saya belajar dari anak pertama: waktu bersama mereka tidak bisa ditunda, tidak bisa diulang.
Kita bisa bekerja lagi, menonton lagi, bahkan menabung lagi. Tapi kita tidak bisa mendampingi masa kecil anak dua kali.

Dunia digital mengajarkan kecepatan, tapi menjadi orang tua mengajarkan kehadiran yang pelan.
Bahwa mencintai butuh waktu, dan membangun karakter butuh kesabaran.

Menemani, Bukan Mengendalikan

Dulu saya kira mendampingi berarti mengatur. Tapi seiring waktu, saya belajar bahwa menemani berarti berjalan di samping — bukan di depan, bukan di belakang.

Anak pertama saya sedang belajar bahasa Inggris melalui program homeschooling. Saya tidak ingin memaksanya jadi sempurna, saya hanya ingin dia menikmati prosesnya. Kami belajar bersama: membaca buku, menonton video edukatif, dan berdiskusi tentang hal-hal yang ia temukan.

Kadang dia bertanya hal-hal yang bahkan membuat saya berpikir ulang, seperti:

“Ayah, kenapa harus belajar bahasa lain kalau kita sudah punya bahasa sendiri?”

Pertanyaan yang sederhana, tapi dalam.
Dan di situlah saya melihat bahwa menemani artinya membuka ruang dialog, bukan menutupnya dengan jawaban cepat.

Mengembalikan Makna ‘Bersama’

Teknologi sering mengklaim dirinya sebagai penghubung, tapi tanpa sadar, ia bisa jadi dinding halus antara kita dan anak.
Ada momen ketika saya duduk di ruang keluarga bersama anak-anak—kami semua di tempat yang sama, tapi pikiran kami entah di mana. Satu sibuk dengan game, satu dengan media sosial, saya sendiri membaca berita di ponsel. Kami bersama, tapi tidak benar-benar bersama.

Dari pengalaman itu, saya membuat kebiasaan kecil: “waktu tanpa layar” setiap sore.
Kami bermain bersama, berbincang, atau sekadar menikmati udara sore. Tidak lama, kadang hanya satu jam. Tapi efeknya terasa.
Anak-anak jadi lebih komunikatif, dan rumah terasa lebih hidup.

Pelan Itu Tidak Salah

Saya belajar satu hal dari perjalanan ini: pelan itu tidak salah.
Justru dalam langkah yang pelan, kita bisa melihat lebih jelas arah yang ingin kita tuju bersama anak-anak.

Dunia boleh cepat, tapi keluarga adalah tempat untuk melambat.
Tempat di mana anak belajar arti waktu, dan kita belajar kembali arti hidup.

Karena pada akhirnya, yang ingin saya wariskan bukan hanya pengetahuan tentang dunia digital, tapi juga kemampuan untuk tetap manusia di tengah arusnya.
Untuk tetap hangat, hadir, dan sadar bahwa waktu bersama keluarga—betapapun singkatnya—adalah investasi terbesar yang bisa kita miliki.