Selamat Hari Ayah: Untuk Diri Sendiri, Ayahku, Ayah Mertua dan Semua Ayah di Indonesia

Setiap tanggal 12 November, Indonesia memperingati Hari Ayah Nasional. Bukan hari yang dirayakan besar-besaran. Tidak ada diskon toko bertema “Ayah Hebat”, tidak banyak ucapan yang memenuhi linimasa media sosial. Hari Ayah selalu terasa lebih sunyi, lebih sederhana, dan justru karena itu — lebih tulus.

Mungkin memang begitulah cara seorang ayah: tidak suka banyak ribut, tapi selalu hadir dalam bentuk yang paling tenang. Dan di momen seperti ini, saya ingin berhenti sejenak, menulis sesuatu — bukan hanya untuk satu sosok ayah, tapi untuk tiga: ayah saya, ayah mertua saya, dan diri saya sendiri. Tiga lelaki yang sama-sama berusaha keras menjalankan peran yang kadang tak terlihat, tapi terasa.

Untuk Ayahku: Lelaki yang Tak Banyak Bicara, Tapi Banyak Berbuat

Ayah saya bukan orang yang pandai mengekspresikan perasaan. Saya tidak pernah ingat kapan terakhir kali beliau memeluk saya, atau mengatakan, “Ayah bangga sama kamu.” Tapi saya selalu ingat bagaimana setiap pagi beliau bangun lebih awal, menyalakan kompor, menyiapkan air panas, lalu pergi bekerja tanpa banyak bicara.

Dulu saya sempat salah paham. Saya pikir ayah adalah orang yang keras, dingin, dan kaku. Tapi semakin saya dewasa, saya mulai paham: ternyata beliau hanya punya bahasa cinta yang berbeda. Cintanya tidak keluar lewat kata-kata, tapi lewat tindakan-tindakan kecil yang terus dilakukan tanpa pamrih.

Saya ingat satu sore, ketika saya masih kecil dan sepeda saya rusak. Saya hanya diam di teras, kecewa karena tak bisa bermain. Ayah datang, memperhatikan roda yang bengkok, lalu tanpa berkata apa-apa mengambil kunci pas dan mulai memperbaikinya. Tidak ada nasihat, tidak ada omelan. Hanya tangan yang bekerja dan wajah yang serius. Dan ketika sepeda itu kembali bisa dipakai, beliau hanya tersenyum dan berkata, “Coba sekarang, hati-hati ya.”

Baru belasan tahun kemudian saya sadar — begitulah caranya mengatakan, “Ayah peduli.” Kadang cinta memang tak perlu diumbar, cukup dilakukan.

Saya juga ingat saat pertama kali gagal dalam sesuatu yang saya perjuangkan keras. Saya pulang dengan perasaan hancur, dan ayah hanya berkata pelan, “Sudah, coba lagi. Kalau jatuh, ya bangun.” Kalimat sederhana itu dulu terasa biasa saja. Tapi semakin saya menua, kalimat itu seperti warisan — nasihat yang kini saya gunakan saat menghadapi dunia.

Ayah saya bukan orang sempurna, tapi dari ketidaksempurnaannya, saya belajar banyak. Beliau tidak mengajarkan banyak teori hidup, tapi beliau mencontohkan bagaimana hidup itu dijalani: dengan kerja keras, dengan kejujuran, dan dengan diam-diam berdoa untuk anaknya setiap malam.

Untuk Ayah Mertuaku: Laki-laki yang Menyambut dengan Keikhlasan

Tidak semua orang bisa menjadi “ayah kedua” dengan hati seluas itu. Tapi ayah mertua saya melakukannya. Saya masih ingat pertemuan pertama kami, ketika saya datang melamar anaknya. Beliau tidak banyak bicara, hanya menatap saya lama, lalu berkata, “Jaga anak saya baik-baik. Itu saja.” Satu kalimat pendek yang terasa ringan di telinga, tapi berat di dada.

Saya tahu, di balik kalimat itu ada kepercayaan besar yang beliau berikan kepada seorang laki-laki asing. Ada harapan, ada doa, juga mungkin sedikit cemas. Tapi beliau memilih untuk percaya. Dan sejak hari itu, saya berjanji dalam hati untuk tidak mengecewakan kepercayaan itu.

Setelah menikah, saya sering memperhatikan beliau dari jauh. Cara beliau memperlakukan keluarga membuat saya belajar banyak: tentang kesabaran, tentang bagaimana menjadi laki-laki yang tidak selalu harus terlihat kuat, dan tentang cara mencintai tanpa banyak syarat.

Ayah mertua saya bukan orang yang banyak memberi nasihat panjang. Tapi dari gerak-geriknya, saya belajar arti keseimbangan. Beliau bisa bercanda, tapi juga bisa diam penuh makna. Bisa tegas, tapi tidak menekan. Dan di setiap kunjungan, selalu ada senyum hangat yang membuat saya merasa seperti pulang, bukan sekadar bertamu.

Kini, setiap kali saya melihat beliau bercengkerama dengan cucunya, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan. Ada rasa syukur karena saya diberi kesempatan mengenal sosok sebaik itu, dan ada rasa kagum karena ternyata cinta seorang ayah bisa hadir dalam banyak wujud — bahkan kepada seseorang yang tidak lahir dari darahnya sendiri.

Untuk Diriku Sendiri: Ayah yang Masih Belajar

Dan akhirnya, Hari Ayah juga untuk diri saya sendiri. Untuk lelaki yang dulu hanya melihat peran itu dari luar, kini menjalaninya setiap hari dengan segala rasa takut, lelah, dan cinta yang bercampur jadi satu.

Saya masih sering merasa belum cukup. Belum cukup sabar, belum cukup bijak, belum cukup mampu menjadi contoh yang baik. Tapi di sisi lain, setiap kali melihat anak tertidur di pangkuan saya, atau tertawa karena hal kecil yang saya lakukan, saya tahu: mungkin memang tidak ada ayah yang benar-benar siap. Kita hanya belajar sambil berjalan.

Menjadi ayah bukan tentang selalu tahu apa yang harus dilakukan, tapi tentang keberanian untuk terus mencoba — meski kadang gagal. Bukan tentang selalu kuat, tapi tentang terus hadir. Kadang diam saja sudah cukup. Kadang hanya menemani anak menonton kartun atau mengajaknya naik sepeda dihalaman rumah sudah bisa jadi bentuk cinta paling nyata.

Saya mulai mengerti bahwa anak tidak akan selalu mengingat mainan apa yang kita belikan, tapi mereka akan mengingat bagaimana perasaan mereka saat bersama kita. Dan mungkin itu pelajaran terbesar sebagai ayah: bahwa cinta bukan tentang memberi yang besar, tapi memberi dengan sepenuh hati.

Ada kalanya saya merasa lelah. Ada hari di mana pekerjaan menumpuk, pikiran penuh, dan saya ingin menyerah sejenak. Tapi entah bagaimana, selalu ada momen kecil yang membuat semuanya terasa ringan kembali — seperti suara kecil yang memanggil, “Ayah, main yuk.” Dan semua beban seketika luluh.

Untuk Semua Ayah di Indonesia

Hari ini, 12 November 2025, saya ingin mengucapkan selamat Hari Ayah untuk semua lelaki yang sedang berjuang dalam diam. Untuk ayah yang bekerja jauh dari rumah demi keluarganya. Untuk ayah yang baru saja kehilangan pekerjaannya, tapi masih tersenyum di depan anak-anaknya. Untuk ayah yang masih belajar menyeimbangkan waktu antara keluarga dan diri sendiri. Dan untuk ayah yang mungkin sudah tiada, tapi cintanya masih hidup di dalam hati anak-anaknya.

Kalian luar biasa. Mungkin dunia tidak selalu memberi tepuk tangan, tapi setiap anak yang merasa aman dan dicintai adalah bukti nyata dari kerja keras kalian. Terima kasih sudah menjadi pondasi yang sering dilupakan, tapi tak tergantikan.

Hari Ayah bukan hanya tentang memberi ucapan, tapi tentang mengingat kembali betapa besar peran seorang ayah — dalam bentuk yang kadang tak kita sadari. Bagi saya pribadi, menjadi ayah adalah perjalanan panjang: kadang indah, kadang melelahkan, tapi selalu penuh makna. Dan di tengah perjalanan itu, saya ingin terus belajar — belajar menjadi orang tua — agar suatu hari nanti, anak saya bisa berkata dengan bangga, “Ayahku mungkin tidak sempurna, tapi dia selalu berusaha.”

Selamat Hari Ayah. Untuk ayahku, ayah mertuaku, untuk diriku sendiri, dan untuk seluruh ayah di Indonesia. Semoga cinta kita — dalam segala bentuknya — terus tumbuh, melindungi, dan menjadi cahaya kecil yang menghangatkan keluarga.