Kelas Enam: Awal dari Banyak Perpisahan Kecil

Waktu memang punya cara aneh untuk berjalan. Rasanya baru kemarin saya menuntun tangan kecil itu menuju gerbang sekolah dasar—dengan seragam yang masih sedikit kebesaran. Kini, anak perempuan saya sudah duduk di kelas enam. Hanya satu tahun lagi sebelum ia meninggalkan masa SD-nya, masa yang begitu polos, hangat, dan penuh tawa sederhana.

Kelas enam, bagi banyak orang tua, adalah masa campur aduk. Ada kebanggaan yang menghangat, karena anak sudah tumbuh begitu banyak—lebih mandiri, lebih bertanggung jawab, dan mulai memahami dunia dengan caranya sendiri. Tapi di sisi lain, ada juga rasa kehilangan kecil yang pelan-pelan tumbuh di sudut hati. Sebab, setiap langkah naik ternyata selalu berarti juga sedikit menjauh.

Kelas 6

Menjadi Kakak Kelas

Kini ia menjadi “kakak kelas” di sekolahnya. Ada sesuatu yang berbeda dari caranya berjalan di lorong sekolah, dari cara teman-teman adik kelas memandangnya dengan kagum, atau dari suaranya saat bercerita tentang kegiatan pramuka dan tugas kelompok. Ia tampak lebih percaya diri, tapi di balik itu saya tahu, ada perasaan baru yang sedang tumbuh—perasaan bahwa masa kecilnya perlahan mulai berpamitan.

Saya sering memperhatikannya dari jauh, saat menunggu di depan sekolah. Melihatnya tertawa dengan teman-teman, membawa tas besar di punggung, dan berbicara seolah mereka punya dunia sendiri. Kadang hati saya bergetar, karena tahu tahun depan, semua ini akan berubah. Akan ada perpisahan, tawa yang berkurang, dan persahabatan yang mulai dijaga lewat pesan singkat, bukan lagi permainan di halaman sekolah.

Tahun Terakhir di Sekolah Dasar

Kelas enam bukan hanya tentang ujian akhir dan kelulusan. Bagi saya, ini adalah tahun di mana anak mulai belajar melepaskan. Ia belajar bahwa tidak semua teman akan terus bersamanya, bahwa guru yang ia cintai akan menjadi kenangan, dan bahwa dunia setelah SD akan lebih luas, lebih menantang, sekaligus lebih sunyi dalam beberapa hal.

Saya masih ingat saat dulu mengantarnya di hari pertama sekolah. Ia sempat ragu masuk kelas, lalu tersenyum lega ketika menemukan teman baru. Kini, di tahun terakhirnya, ia justru menghibur adik-adik kelas yang takut masuk sekolah. Siklus itu begitu indah—dan menegaskan betapa cepatnya waktu berjalan tanpa kita sadari.

Perpisahan Kecil yang Diam-Diam Terjadi

Setiap pagi saya menyadari, bahwa masa SD anak saya mulai menipis. Dari cara ia mulai memilih baju sendiri, menyiapkan buku tanpa diingatkan, hingga mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman daripada bercerita panjang di meja makan. Semua itu adalah tanda-tanda kecil bahwa dunia sedang menariknya perlahan menjauh dari masa kecilnya—dan saya hanya bisa berdiri di tepi, menonton sambil tersenyum.

Kadang saya rindu versi dirinya yang dulu: anak kecil yang menunggu saya di gerbang dengan wajah penuh antusias, menunjukkan hasil gambar sederhana dengan kebanggaan tak terukur. Tapi saya juga bersyukur, karena kini ia tumbuh menjadi pribadi yang mulai tahu apa yang ia suka, mulai punya pendapat, dan mulai berani berdiri di atas kakinya sendiri. Di sanalah keindahan menjadi orang tua: menerima perubahan yang datang bersamaan dengan cinta yang tidak pernah berkurang.

Belajar Melepas, Lagi dan Lagi

Menjadi orang tua ternyata adalah perjalanan panjang belajar melepas. Dari pertama kali anak belajar berjalan, masuk sekolah, hingga nanti ia melangkah ke SMP. Setiap tahap meninggalkan ruang kosong kecil di hati, tapi juga memberi ruang baru untuk kebanggaan tumbuh. Saya belajar bahwa cinta yang sejati tidak menahan, tapi mengantar dengan doa dan keyakinan.

Saya tidak tahu apakah anak saya akan ingat detail kecil tentang masa SD-nya nanti. Tentang aroma kertas ulangan, suara bel istirahat, atau tentang pohon besar di halaman sekolah tempat mereka sering berkumpul. Tapi saya tahu, semua kenangan itu akan menempel di hatinya, membentuk cara ia memandang dunia, dan menjadi bagian dari siapa dirinya kelak.

Kebanggaan yang Tak Pernah Habis

Setiap kali melihatnya mengenakan seragam dengan lambang kelas enam di dada, saya tersenyum. Bukan karena ia sudah hampir selesai dengan SD, tapi karena saya tahu betapa banyak perjalanan yang telah ia lewati untuk sampai di sini. Dari kegugupan menghadapi ujian pertama, hingga keberaniannya tampil di depan kelas. Semua itu mungkin terlihat sederhana bagi orang lain, tapi bagi saya—itu adalah tanda-tanda kecil dari kedewasaan yang sedang tumbuh.

Kadang, saat malam, ia masih datang ke kamar hanya untuk bercerita tentang gurunya yang lucu, atau teman yang membuatnya kesal. Di situlah saya menyadari bahwa meskipun banyak hal akan berubah, satu hal tetap sama: ia masih anak kecil yang mencari tempat pulang. Dan bagi saya, itu lebih dari cukup.

Menatap Setahun ke Depan

Saya tahu, tahun depan akan ada upacara perpisahan. Akan ada lagu-lagu yang membuat mata para orang tua berkaca-kaca, dan momen di mana anak-anak itu berdiri berbaris untuk terakhir kalinya dengan seragam SD. Saya mungkin akan menjadi salah satu yang diam-diam menahan air mata di antara keramaian. Tapi bukan karena sedih semata—melainkan karena bangga, karena perjalanan kecil itu telah sampai sejauh ini.

Kelas enam memang bukan sekadar angka di rapor. Ia adalah simbol tentang bertumbuh, tentang kesiapan melepas masa paling polos dalam hidup seorang anak, dan tentang keberanian orang tua untuk berdamai dengan waktu. Setiap langkah yang diambil anak menuju masa depan, selalu membawa dua hal sekaligus: kehilangan dan kebanggaan.

Dan saya, seperti banyak orang tua lainnya, akan terus belajar berjalan di antara keduanya—menemani, mendoakan, dan sesekali menatap ke belakang untuk mengingat, betapa indahnya masa-masa kecil itu pernah ada.