Ketika Gelar Pahlawan Tak Lagi Sesuci Namanya
Setiap tanggal 10 November, bangsa ini berhenti sejenak. Bendera dinaikkan setengah tiang, upacara digelar di sekolah-sekolah, dan di televisi kita mendengar kembali lagu-lagu perjuangan. Hari Pahlawan selalu menjadi momen yang menggetarkan, bukan hanya karena sejarahnya, tapi karena maknanya: kita diingatkan tentang keberanian, pengorbanan, dan ketulusan mereka yang telah memberi segalanya untuk negeri ini.
Namun tahun ini, rasa itu sedikit berbeda. Ada yang mengganjal, ada yang membuat saya termenung cukup lama ketika mendengar kabar bahwa Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh — di antaranya Presiden ke-2 Soeharto dan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Mendengar dua nama itu disebut dalam satu kalimat yang sama terasa seperti mendengar dua nada yang tak sepenuhnya harmonis. Gus Dur dan Soeharto — dua sosok yang dalam catatan sejarah sering berada di sisi yang berbeda, bahkan bertentangan dalam hal cara memimpin dan memaknai kekuasaan. Satu dikenal karena keberanian moral dan kemanusiaannya, satu lagi karena kekuasaan panjang yang melahirkan stabilitas — sekaligus luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh.
Bangsa yang Mudah Memaafkan, Tapi Terlalu Cepat Melupakan
Saya tidak menolak bahwa Soeharto punya jasa. Tentu saja. Selama tiga dekade, beliau memimpin negara ini, membawa stabilitas ekonomi, membangun infrastruktur, dan menjadikan Indonesia lebih dikenal di dunia internasional. Saya lahir dan tumbuh di masa ketika foto beliau tergantung di setiap ruang kelas, berdampingan dengan Garuda Pancasila. Dalam ingatan masa kecil saya, Soeharto selalu disebut “Bapak Pembangunan”.
Namun seiring waktu, saya belajar bahwa pembangunan tidak selalu identik dengan kebaikan yang utuh. Ada harga yang dibayar — kadang terlalu mahal. Saya membaca kisah tentang pembungkaman kebebasan berpendapat, tentang para aktivis yang hilang, tentang keluarga-keluarga yang menunggu tanpa kepastian. Dan setiap kali saya membaca itu, hati saya bertanya pelan: apakah stabilitas memang harus dibayar dengan kebisuan?
Itulah sebabnya, ketika nama Soeharto diumumkan sebagai salah satu penerima gelar Pahlawan Nasional, saya terdiam lama. Bukan karena benci, tapi karena takut: takut bangsa ini terlalu cepat memaafkan tanpa benar-benar belajar dari kesalahannya. Kita bangsa yang pemaaf, ya — tapi kadang juga bangsa yang pelupa. Kita memaafkan tanpa sempat mengakui luka. Kita ingin melangkah ke depan, tapi sering lupa membersihkan darah yang menetes di jalan yang kita lalui.
Kepahlawanan Bukan Hanya Soal Jasa
Bagi saya, pahlawan bukan hanya tentang apa yang telah dilakukan, tapi bagaimana dan untuk siapa hal itu dilakukan. Pahlawan sejati, dalam pandangan saya, bukan yang paling lama berkuasa atau yang paling banyak membangun gedung, melainkan mereka yang berani membela manusia — bahkan ketika kekuasaan menentangnya.
Marsinah, misalnya. Ia hanya seorang buruh perempuan sederhana, tapi keberaniannya melawan ketidakadilan menjadikannya simbol moral yang abadi. Dan saya bahagia ketika tahun ini namanya juga disebut dalam daftar penerima gelar pahlawan nasional. Ia gugur tanpa jabatan, tanpa pasukan, tanpa panggung. Tapi justru di situlah nilai kepahlawanan paling murni: ketika seseorang berani melawan demi kebenaran, bukan demi kekuasaan.
Maka, ketika Soeharto — seorang penguasa yang dalam catatan sejarah terlibat dalam pelanggaran HAM berat dan pembungkaman demokrasi — mendapat gelar yang sama, saya merasa maknanya menjadi kabur. Bukan karena saya ingin menghapus jasanya, tapi karena saya ingin menjaga makna kata pahlawan itu sendiri. Sebuah gelar tidak boleh diberikan hanya untuk menyeimbangkan sejarah, apalagi untuk rekonsiliasi simbolik yang mengabaikan keadilan moral.
Rekonsiliasi Tanpa Kejujuran Hanyalah Sandiwara
Saya paham bahwa keputusan ini mungkin dimaksudkan sebagai bentuk rekonsiliasi nasional. Negara ingin menunjukkan bahwa kita sudah berdamai dengan masa lalu — bahwa tidak ada lagi luka, hanya kenangan. Tapi saya percaya, perdamaian sejati tidak pernah lahir dari pelupaan. Rekonsiliasi tanpa kejujuran hanyalah sandiwara yang dibungkus dalam upacara.
Kalau kita ingin berdamai dengan masa lalu, maka pertama-tama kita harus berani mengakuinya. Bahwa ada korban yang belum mendapat keadilan. Bahwa ada kesalahan yang belum diakui. Bahwa ada sejarah yang masih disembunyikan dalam arsip yang berdebu. Mengangkat Soeharto menjadi pahlawan nasional tanpa mengakui sisi gelap masa pemerintahannya sama saja dengan menulis bab baru tanpa menutup bab lama dengan benar.
Saya khawatir, langkah ini justru akan mengaburkan batas antara yang harus dihormati dan yang seharusnya menjadi pelajaran. Kita bisa menghargai jasa, tetapi tidak dengan meniadakan luka. Bangsa yang besar bukan hanya yang menghormati para pahlawannya, tapi juga yang berani menatap masa lalunya dengan jujur — seberapa pahit pun itu.
Kita Sedang Menguji Akal Sehat Bangsa
Ketika saya membaca reaksi dari banyak tokoh yang menolak keputusan ini, saya merasa mereka tidak sedang menentang pemerintah, melainkan sedang membela akal sehat bangsa. Karena pada akhirnya, gelar pahlawan nasional bukan soal politik, tapi soal moral. Ia bukan hanya penghargaan negara, tapi juga pesan sejarah bagi generasi yang akan datang: tentang siapa yang kita anggap layak dijadikan teladan.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga para korban pelanggaran HAM mendengar kabar ini. Bagaimana rasanya ketika orang yang mereka anggap bagian dari sumber penderitaan kini diangkat sebagai pahlawan oleh negara. Saya tidak tahu apakah mereka bisa tersenyum, atau justru semakin merasa asing di tanah airnya sendiri.
Belajar dari Gus Dur
Dalam daftar penerima gelar tahun ini, ada satu nama yang membuat saya sedikit tenang: Abdurrahman Wahid — Gus Dur. Ia adalah simbol bahwa keberanian dan kemanusiaan bisa hidup berdampingan. Ia tidak sempurna, tentu saja, tapi keberaniannya membela minoritas, melawan arus kekuasaan, dan mengakui kesalahan masa lalu patut disebut pahlawan sejati.
Dan menariknya, Gus Dur-lah yang dulu pertama kali membuka wacana rekonsiliasi nasional dengan meminta maaf atas tragedi 1965 — langkah yang waktu itu dianggap kontroversial. Artinya, bahkan Gus Dur pun paham bahwa rekonsiliasi hanya mungkin lahir jika ada pengakuan dan kejujuran. Maka ironis sekali ketika di tahun yang sama, nama Soeharto disandingkan dengannya dalam daftar yang sama.
Makna yang Seharusnya Kita Jaga
Saya menulis ini bukan untuk menolak penghargaan secara mutlak, tapi untuk mengingatkan bahwa kepahlawanan adalah nilai, bukan sekadar status. Nilai itu lahir dari ketulusan, bukan dari kekuasaan. Dari keberanian melawan arus, bukan dari kemampuan mempertahankannya.
Mungkin memang tidak ada manusia yang sempurna — seperti kata Jusuf Kalla — tapi bukan berarti semua yang punya jasa layak disebut pahlawan. Karena pahlawan bukan soal jumlah jasa, tapi tentang keberpihakan: berpihak pada kebenaran, pada kemanusiaan, pada nurani.
Saya ingin bangsa ini tidak kehilangan keberanian untuk menilai sejarahnya sendiri dengan jujur. Bukan untuk menghakimi masa lalu, tapi untuk memastikan kita tidak mengulanginya lagi. Karena bangsa yang kehilangan arah moral akan mudah sekali dibuai oleh simbol dan gelar — sementara esensinya menguap begitu saja.
Hari ini, saya tidak ingin marah, hanya ingin mengingat. Bahwa di antara para pahlawan yang kita hormati, ada yang berjuang dengan darah dan air mata, bukan dengan kekuasaan. Bahwa di balik upacara megah dan lagu kebangsaan, ada nilai yang harus kita jaga agar tidak tereduksi menjadi formalitas tahunan.
Gelar pahlawan seharusnya menyala seperti api kecil di dada kita — bukan karena nama besar yang ditulis di atasnya, tapi karena semangatnya yang membuat kita terus berjuang menjadi bangsa yang lebih jujur dan manusiawi.

Gabung dalam percakapan