Ketika Orang Baik Dipersoalkan, Kita Semua Ikut Lelah
Ada kegelisihan yang sudah lama tinggal di kepala saya, dan hari ini ia muncul lagi dengan lebih kuat. Rasanya seperti dejavu yang tidak pernah benar-benar selesai. Setiap beberapa tahun, muncul seorang pemimpin hebat, pekerja keras, reformis sejati—dan entah kenapa, selalu saja berakhir dengan persoalan hukum, fitnah, kriminalisasi keputusan bisnis, atau polemik yang membuat kita bertanya: apa sebenarnya yang salah dengan negeri ini?
Saya coba mengingat-ingat kembali. Kita pernah melihat Ignasius Jonan—orang yang membenahi KAI secara radikal—yang sempat dipersoalkan karena keberaniannya. Kita juga pernah melihat Dahlan Iskan, sosok yang membongkar banyak inefisiensi di PLN dan berbagai BUMN, tapi kemudian masuk dalam labirin kasus yang bahkan hingga kini masih menimbulkan banyak tanda tanya.
Lalu ada Helmi Yahya, yang mengubah TVRI menjadi institusi yang segar, modern, hidup, penuh kreativitas—hanya untuk kemudian dicopot secara mendadak dan diperlakukan seolah-olah prestasinya tidak ada artinya.
Kita juga pernah menyaksikan Tom Lembong. Ia juga sempat mengalami kriminalisasi dan serangan politik hanya karena pandangannya tidak selalu sejalan dengan arus kekuasaan.
Dan hari ini, giliran kisah itu menyapa seorang perempuan yang selama ini bekerja senyap, tidak banyak bicara, tapi hasil kerjanya nyata: Ibu Ira Puspadewi, mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry.
Ketika Prestasi Tidak Lagi Cukup
Di bawah kepemimpinan Ibu Ira, ASDP mencatat laba tertinggi sepanjang sejarah perusahaan. Itu bukan pencapaian kecil. Itu buah dari modernisasi, efisiensi, dan keberanian mengambil keputusan strategis.
Tetapi hari ini, ia justru dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara. Bukan karena ia mencuri uang negara. Bukan karena ia menyelewengkan dana. Bukan karena menikmati gratifikasi. Tetapi karena sebuah keputusan akuisisi perusahaan—keputusan yang dilakukan secara resmi, secara profesional, secara terang benderang.
Pengadilan tidak menemukan bukti sepeser pun uang masuk ke rekening pribadi Ibu Ira. Tidak ada transfer mencurigakan. Tidak ada aset pribadi tiba-tiba meningkat. Tidak ada “jejak korupsi” seperti yang kita kenal selama ini.
Yang dipersoalkan hanyalah: nilai akuisisi.
ASDP mengakuisisi PT Jembatan Nusantara, perusahaan dengan 53 kapal lengkap dengan izin trayek, sebuah aset strategis terutama karena sejak 2017 pemerintah menerapkan moratorium izin trayek baru. Tanpa akuisisi, ASDP hampir mustahil memperluas cakupan layanan, termasuk untuk lebih dari 200 daerah 3T yang selama ini mengandalkan subsidi silang dari jalur komersial.
Valuasi perusahaan dilakukan oleh dua konsultan bersertifikasi global: Deloitte dan PwC. Hasilnya: sekitar 1,2 triliun Rupiah.
Namun, auditor lembaga hukum menyatakan nilainya… 19 miliar Rupiah. Selisih yang tidak masuk akal, selisih yang membuat publik bertanya-tanya: metode apa yang digunakan?
Lalu tiba-tiba, keputusan bisnis itu disebut sebagai tindak pidana. Dan orang yang memutuskan dijebloskan ke penjara.
Saya harus jujur: bagian inilah yang paling membuat dada saya sesak.
Kita Sudah Terlalu Sering Melihat Pola Ini
Saat menonton penjelasan mengenai kasus ini—tanpa menyebutkan siapa pun pembicaranya—saya merasakan sesuatu yang sangat familiar. Sesuatu yang pernah saya rasakan ketika melihat Jonan diserang, ketika Dahlan Iskan digiring ke pengadilan, ketika Helmi Yahya dipaksa meninggalkan TVRI, ketika Tom Lembong dibungkam hanya karena menyampaikan kritik berbasis data.
Ada pola berulang: orang-orang yang bekerja terlalu baik, yang bergerak terlalu cepat, yang terlalu berintegritas, selalu berakhir dipersoalkan.
Seolah-olah keberhasilan adalah ancaman. Seolah inovasi adalah bahaya. Seolah integritas adalah masalah.
Dan yang lebih menakutkan: seolah negeri ini tidak siap dengan orang-orang yang benar-benar ingin memperbaiki keadaan.
Surat dari Balik Tahanan: Suara yang Terlalu Jujur untuk Diabaikan
Dalam kasus Ibu Ira, ada satu momen yang membuat saya benar-benar berhenti dan terdiam: ketika dibacakan surat yang ia tulis dari Rutan KPK.
Surat itu tidak marah. Tidak menyalahkan siapa pun. Tidak meledak-ledak. Tidak defensif.
Ia hanya menulis dengan tenang bahwa:
- tidak ada uang yang ia terima,
- tidak ada niat memperkaya diri,
- semua keputusan diambil untuk kepentingan ASDP dan masyarakat,
- dan yang paling menyayat, ia mengatakan bahwa terobosan yang ia lakukan justru dikriminalisasi.
Kalimat itu menghantam seperti pukulan pelan namun berat. Karena itu bukan hanya cerita tentang satu orang. Itu adalah potret situasi yang bisa menimpa siapa saja yang mencoba memperbaiki sistem.
Seandainya Orang-Orang Seperti Mereka Menyerah…
Bayangkan jika dulu Ignasius Jonan menyerah membenahi KAI karena takut dipersoalkan. Bayangkan jika Dahlan Iskan tidak berani memotong inefisiensi PLN karena takut dilaporkan. Bayangkan jika Helmi Yahya tidak memodernisasi TVRI karena takut menghadapi kekuatan politik. Bayangkan jika Tom Lembong memilih diam saja agar tidak diserang.
Bayangkan juga jika Ibu Ira Puspadewi tidak mengambil keputusan strategis akuisisi itu—maka ASDP tidak akan pernah bisa memperluas layanan ke ratusan daerah 3T, dan masyarakat kecil yang menggantungkan hidup pada kapal penyeberangan akan menerima imbasnya.
Mereka semua mengambil keputusan berani bukan untuk memperkaya diri, tapi untuk memperbaiki negeri.
Dan justru karena itu, mereka dipersoalkan.
Kalau pola ini terus berulang, saya khawatir kita akan kehilangan lebih banyak orang baik. Orang-orang berintegritas tinggi akan menjauh dari jabatan publik. Mereka akan memilih bekerja di tempat yang aman, di sektor swasta, atau bahkan di luar negeri—tempat di mana prestasi dihargai, bukan dicurigai.
Dan itu adalah kerugian terbesar bagi bangsa.
Kita Tidak Boleh Terbiasa Melihat Orang Baik Dijatuhkan
Saya menulis ini bukan untuk membela individu. Saya menulis ini karena takut.
Takut bahwa bangsa ini perlahan-lahan kehilangan rasa hormat pada integritas. Takut bahwa orang-orang terbaik tidak mau lagi mengambil risiko untuk memperbaiki negara. Takut bahwa kita semua akan terbiasa melihat orang hebat jatuh satu per satu, lalu menganggapnya hal biasa.
Kita sering bertanya: “Kenapa Indonesia sulit maju?”
Mungkin jawabannya tidak sesulit itu: Karena kita menghukum orang yang bekerja terlalu baik.
Saya tidak tahu bagaimana nasib banding Ibu Ira nanti. Saya tidak tahu apakah keadilan akan datang lebih cepat atau lebih lambat.
Tapi saya tahu satu hal: Jika kita tidak belajar dari pola ini, kita bukan hanya kehilangan seorang pemimpin—kita kehilangan masa depan yang lebih baik.

Gabung dalam percakapan