Ketika Putusan Sudah Jelas, Tetapi Masih Ditawar: Negara Hukum dan Kebiasaan Mencari Celah
Kali ini ada satu hal yang membuat saya berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu bertanya dalam hati: sebenarnya seberapa serius negara ini memperlakukan hukum? Pertanyaan itu kembali muncul, lebih keras dari sebelumnya, setelah saya mengikuti polemik mengenai putusan Mahkamah Konstitusi terkait larangan polisi aktif menduduki jabatan sipil.
Bukan karena saya seorang ahli hukum. Saya hanyalah warga negara biasa yang percaya bahwa hukum adalah tiang penyangga rumah besar bernama Indonesia. Dan ketika tiang itu mulai terlihat goyah karena ulah para penghuninya sendiri, saya merasa perlu menuliskan kegelisahan ini.
Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 sebenarnya sangat sederhana: anggota Polri yang menduduki jabatan sipil harus mengundurkan diri dari jabatan sipil tersebut, atau pensiun dari Polri. Titik. Tidak ada koma, catatan kaki, atau ruang interpretasi tambahan.
Tetapi entah kenapa, setelah putusan dibacakan, justru muncul berbagai pernyataan pejabat yang seolah ingin membuka ruang tawar-menawar baru. Dan di sinilah kegelisahan itu bermula.
Ketika Putusan yang Jelas Masih Dicari Celahnya
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa aturannya final dan mengikat. Tetapi beberapa pejabat justru menyampaikan tafsir berbeda: ada yang bilang tidak berlaku surut, ada yang bilang masih bisa dikompromikan, ada pula yang menyebut perlu dicocokkan lagi dengan aturan lain.
Saya membacanya sambil mengernyit. Bagaimana mungkin putusan yang sudah sejelas itu masih ditarik ke sana kemari? Bagaimana publik diminta percaya kepada hukum, jika para pejabat yang seharusnya menjadi teladan justru ragu-ragu untuk patuh?
Mantan Ketua MK, Mahfud MD, bahkan sampai mengingatkan hal yang paling mendasar dalam negara hukum: putusan MK itu berlaku seketika, tanpa perlu menunggu, tanpa bisa dinegosiasikan. Dan saya pikir, bukankah memang seharusnya begitu?
Norma yang Diselundupkan dan Dibersihkan
Selama bertahun-tahun, ada penjelasan dalam UU Polri yang membuka celah bagi anggota Polri aktif untuk duduk di jabatan sipil. Padahal dalam batang tubuh UU-nya sendiri, syaratnya jelas: harus mengundurkan diri atau pensiun.
Penjelasan itu kemudian dianggap sebagai penyelundupan norma. Dan MK akhirnya membersihkan celah itu melalui putusannya. Tetapi bukannya bersyukur karena kekacauan norma dibereskan, beberapa pejabat justru menunjukkan sikap defensif dan berputar-putar dengan dalih administrasi.
Di titik ini, saya merasa kita sedang melihat bukan sekadar persoalan hukum, melainkan persoalan watak kekuasaan: ada pihak-pihak yang merasa lebih tinggi dari aturan yang seharusnya mereka junjung.
Suara Akademisi: Ingat, Publik Sedang Mengawasi
Guru Besar HTN UGM, Zainal Arifin Mochtar, memberikan perspektif yang membuat saya manggut-manggut: meski putusan MK bersifat ke depan, sifat korektifnya tetap berlaku. Artinya, praktik lama yang sejak awal keliru harus segera diperbaiki, bukan dipertahankan dengan alasan birokrasi atau kenyamanan.
Zainal Arifin Mochtar bilang, “Biarkan Polri berbenah. Jangan dicarikan dalih pembenar.” Dan saya merasa itu bukan hanya pesan untuk institusi, tetapi juga untuk kita semua yang sedang menatap negara ini dengan mata waspada.
Dalam era ketika kepercayaan publik terhadap institusi negara mudah sekali retak, pejabat seharusnya berlomba-lomba menaati hukum—bukan menaati kepentingan.
Kalau Pejabat Tawar-Menawar dengan Hukum, Kita Belajar Taat dari Siapa?
Saya sering mendengar kampanye pemerintah tentang pentingnya disiplin hukum. Dari aturan lalu lintas, urusan administrasi, sampai soal-soal etika publik. Semua itu tidak salah. Tetapi pertanyaannya: bagaimana rakyat mau belajar taat kalau yang memberi contoh justru tampak memilih-milih aturan mana yang ingin dipatuhi?
Bayangkan jika seorang siswa melihat gurunya sendiri melanggar peraturan sekolah. Siswa itu mungkin tak lagi merasa wajib mematuhi apa pun. Begitu pula rakyat terhadap negara.
Jika putusan MK pun masih bisa ditawar, lalu aturan apa yang tidak bisa ditawar?
Sebenarnya Kita Hanya Butuh Satu Hal: Konsistensi
Negara hukum hanya bisa berdiri kalau semua orang—terutama mereka yang berkuasa—memperlakukan hukum sebagai batas yang tidak boleh dilampaui. Putusan MK bukan preferensi politik, bukan opsi, dan bukan saran. Ia adalah perintah konstitusi.
Saya tahu, ada banyak orang baik di pemerintahan. Tapi kebaikan personal tidak cukup jika sistemnya diberi ruang untuk diselewengkan. Itulah kenapa kepatuhan terhadap putusan MK menjadi sangat penting. Bukan karena MK selalu sempurna, tetapi karena negara butuh standar yang tidak bisa dinegosiasikan.
Pada akhirnya, saya hanya ingin percaya bahwa negara ini masih punya wibawa hukum. Bahwa pejabat tidak akan terus bermain tarik-menarik dengan aturan. Bahwa masyarakat tidak perlu terus menerus merasa cemas bahwa hukum bisa berubah sesuai arah angin politik.
Penutup: Kita Tidak Boleh Diam
Saya menulis ini bukan karena benci. Justru sebaliknya: karena saya peduli. Karena saya ingin negara ini tumbuh menjadi negara yang bisa kami banggakan, bukan negara yang membuat kami menghela napas setiap kali membaca berita.
Putusan MK ini harus dijalankan. Tidak ada alasan untuk tidak patuh. Tidak ada ruang untuk ragu-ragu. Dan kalau pun ada pejabat yang masih mencoba memelintirnya, kita sebagai warga punya hak untuk mengingatkan.
Demokrasi bukan hanya urusan lima tahunan. Demokrasi adalah kerja harian: mengawasi, bersuara, dan menolak tunduk pada kelalaian.
Saya percaya Indonesia bisa lebih baik. Tapi hanya jika kita berani menjaga hukum—bahkan ketika mereka yang seharusnya menjaganya justru mulai abai.

Gabung dalam percakapan