RUU KUHAP Disahkan: Kenapa Kita Harus Khawatir? Sebuah Catatan Pribadi dari Orang Biasa yang Tak Ingin Kehilangan Kebebasannya
Ada satu momen yang sering muncul dalam hidup saya: rasa kecewa setiap kali melihat kabar bahwa satu demi satu aturan hukum baru disahkan, tapi tidak pernah terasa benar-benar “baru”. Mirip seperti menukar bungkus, sementara isinya tetap saja rasa lama—rasa tidak dilibatkan, rasa tidak dianggap, rasa tidak aman.
Itulah yang saya rasakan ketika mendengar bahwa RUU KUHAP (Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana) akhirnya disahkan. Mungkin sebagian orang akan berkata: “Ah, itu cuma urusan teknis hukum.” Tapi bagi saya, dan bagi banyak orang lain yang mencintai negeri ini, tidak ada yang “cuma” ketika bicara soal hukum yang akan menyentuh hidup semua warga negara—dari mereka yang duduk di kursi empuk kekuasaan sampai kita yang hanya ingin hidup tenang, bekerja, dan pulang setiap hari tanpa rasa cemas.
Dan ini bukan hanya soal pasal demi pasal. Ini soal masa depan demokrasi kita. Soal rasa aman yang perlahan seperti menguap. Dan soal negara yang, semakin hari, terasa makin ingin tahu terlalu banyak tentang warganya—bahkan hal-hal yang seharusnya menjadi ruang paling pribadi.
Saya Mengerti Kenapa Banyak Orang Mulai Takut
Saat saya membaca naskah final UU ini, beberapa hal langsung menggelitik kepala dan dada saya sekaligus: rasa ingin tahu bercampur kekhawatiran. Kenapa?
Karena beberapa pasal memberikan kewenangan sangat luas kepada aparat penegak hukum untuk mengawasi, memata-matai, dan mengumpulkan informasi, bahkan tanpa mekanisme kontrol yang benar-benar kuat. Ada aturan tentang penyadapan, penggeledahan, dan penangkapan yang bisa dilakukan dengan standar pembuktian yang longgar. Ada ketentuan mengenai “putusan hakim tunggal”, yang bagi saya terasa janggal—karena semakin besar kewenangan, harusnya semakin banyak mata yang mengawasi, bukan semakin sedikit.
Di banyak negara demokratis, pembatasan hukum digunakan untuk menahan kekuasaan agar tidak melampaui batas. Tetapi UU yang satu ini justru memberi kesan sebaliknya: kekuasaan diperluas dulu, mekanisme kontrol dipikirkan belakangan.
Dan sebagai warga biasa, apa yang bisa saya lakukan selain merasa khawatir? Saya bukan pengacara, bukan aktivis, bukan politisi. Tapi saya adalah orang Indonesia. Dan itu sudah membuat saya cukup berhak untuk cemas.
Lalu, Di Mana Suara Kita?
Salah satu hal yang paling menyakitkan bagi saya—dan mungkin bagi banyak orang di koalisi masyarakat sipil—adalah bagaimana proses penyusunan dan pengesahan UU ini terasa begitu jauh dari publik. Diskusi yang minim. Partisipasi yang dangkal. Dokumen yang sulit diakses. Bahkan banyak catatan kritis dari akademisi, ahli hukum, dan lembaga swadaya masyarakat seolah masuk telinga kanan dan meluncur keluar tanpa jeda dari telinga kiri para pembuat kebijakan.
Indonesia selalu bangga menyebut dirinya negara demokrasi. Tapi bagaimana mungkin kita menyebut ini demokrasi bila hukum yang akan mengatur setiap langkah hidup kita disusun tanpa melibatkan kita?
Saya membayangkan: bagaimana jika UU ini dibahas dengan transparan? Bagaimana jika publik diajak duduk—setidaknya sebagai pendengar yang dihargai? Mungkin kita masih akan berbeda pendapat, tapi setidaknya kita merasa dianggap manusia.
Sayangnya, itu tidak terjadi.
Dan rasa tidak dilibatkan itu menciptakan sesuatu yang lebih berbahaya daripada perbedaan pendapat: rasa tidak percaya.
Kenapa Saya Sepakat dengan Koalisi Masyarakat Sipil
Saya termasuk orang yang merasa bahwa koalisi masyarakat sipil sedang berada di posisi yang benar. Bukan karena mereka selalu sempurna atau selalu benar, tetapi karena mereka sedang memegang sesuatu yang sangat penting: kewaspadaan.
Tanpa kelompok seperti mereka, kita mungkin tidak pernah benar-benar sadar bahwa ada hal-hal yang bisa mengancam kebebasan kita. Kita mungkin tidak tahu bahwa aturan-aturan tertentu bisa menjadi pintu masuk penyalahgunaan. Kita mungkin tidak punya cukup keberanian untuk mempertanyakan “kok bisa begini?” ketika pemerintah terlalu cepat, terlalu diam-diam, atau terlalu powerful.
Koalisi masyarakat sipil mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan soal memilih pemimpin lima tahun sekali. Demokrasi adalah soal mempertahankan ruang aman bagi warga untuk berpikir, bicara, dan hidup tanpa takut.
Dan pada titik inilah saya merasa: saya harus ikut bersuara. Bahkan jika suara saya kecil, ia tetap bagian dari paduan suara yang lebih besar—suara yang menolak diam ketika kebebasan dipertaruhkan.
Kekhawatiran yang Paling Mengganggu: Penyadapan dan Pengawasan
Jujur saja, bagian UU yang paling membuat saya merinding adalah yang terkait penyadapan.
Ada kesan bahwa penyadapan bisa dilakukan lebih mudah, lebih cepat, dan dengan batasan yang tidak cukup jelas. Dalam banyak kasus, penyadapan memang penting—korupsi, terorisme, perdagangan manusia, semua itu memerlukan teknologi dan kewenangan ekstra untuk menanganinya.
Tapi bukankah penyadapan adalah bentuk paling ekstrem dari pelanggaran privasi?
Bayangkan jika percakapan kita dengan pasangan, keluarga, atau sahabat bisa didengarkan oleh negara tanpa pengawasan yang kuat. Bayangkan jika kantor kita, rumah kita, ponsel kita—semua menjadi ruang yang tak lagi aman. Bayangkan jika sesuatu yang seharusnya menjadi perlindungan justru menjadi ancaman.
Itulah kenapa aturan penyadapan harus super ketat. Diatur jelas apa kriterianya, siapa yang mengawasi, bagaimana mekanismenya, dan siapa yang bertanggung jawab jika ada penyalahgunaan.
Sayangnya, beberapa pasal dalam UU ini justru membuka ruang-ruang abu-abu yang menakutkan.
Saya Tidak Anti Pemerintah. Saya Pro Demokrasi.
Ini penting untuk saya tulis: kekhawatiran saya bukan karena saya tidak percaya kepada pemerintah secara pribadi. Saya percaya banyak aparat dan pejabat ingin melakukan hal yang benar.
Tetapi demokrasi tidak dibangun berdasarkan “percaya kepada orang”. Demokrasi dibangun atas prinsip membatasi kekuasaan agar tidak bisa disalahgunakan—bahkan oleh orang baik sekalipun.
Jika hari ini orang yang berkuasa adalah orang baik, bagaimana dengan sepuluh atau dua puluh tahun lagi? Undang-undang berlaku lintas generasi. Kita tidak tahu siapa yang akan duduk di atas kursi kekuasaan suatu hari nanti.
UU KUHAP yang longgar hari ini bisa menjadi senjata berbahaya besok.
Akhir Kata: Kita Tidak Boleh Lelah Menjaga Negara Kita Sendiri
Saya menulis ini bukan untuk menakut-nakuti. Bukan untuk menumbuhkan kebencian. Tapi karena saya mencintai negeri ini. Dan saya percaya bahwa negara yang sehat adalah negara yang mau mendengar warganya.
RUU KUHAP mungkin sudah disahkan, tetapi bukan berarti kita harus diam. Kita masih bisa mengawal aturan turunannya. Kita masih bisa mendorong judicial review. Kita masih bisa menuntut transparansi.
Dan yang paling penting: kita masih bisa memilih untuk tidak takut, tetapi juga tidak lengah.
Karena kebebasan tidak hilang dalam satu malam. Ia hilang pelan-pelan—sehelai demi sehelai—ketika warganya memilih diam.
Saya tidak ingin menjadi bagian dari keheningan itu.

Gabung dalam percakapan