Selamat Milad Muhammadiyah: Jejak yang Menemani Sejak Langkah Pertama

Ada suatu masa dalam hidup ketika kita belum benar-benar mengerti dunia, namun dunia sudah lebih dulu menyiapkan jalan untuk kita. Ketika kita masih anak-anak—sederhana, polos, dan belum mengenal apa-apa—seringkali keputusan-keputusan besar diambilkan oleh orang tua. Namun ada pula keputusan kecil yang tampak sederhana, tapi diam-diam membentuk siapa kita hari ini.

Bagi saya, salah satunya adalah keputusan tentang di mana saya bersekolah.
Dan di situlah jejak Muhammadiyah mulai masuk ke hidup saya—tenang, sederhana, tanpa paksaan, tapi kuat dan meninggalkan bekas.

Hari ini, ketika Muhammadiyah merayakan Milad, saya ikut merayakan perjalanan panjang sebuah organisasi yang secara tidak langsung telah ikut membesarkan saya. Lewat sekolah-sekolahnya, lewat guru-gurunya, lewat nafas pembaruan yang selalu menjadi ciri khasnya.

Dan lewat kenangan kecil saya sendiri.

Lahir dari Dua Tradisi Besar: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama

Saya lahir dari pasangan yang indah dalam keberagamannya: Ayah yang Muhammadiyah, dan Ibu yang Nahdlatul Ulama. Dua ormas besar Indonesia ini hadir dalam kehidupan kami bukan sebagai perbedaan, bukan sebagai jarak, tapi sebagai kekayaan.

Di rumah, suasana keagamaan terasa hangat. Ayah dengan cara Muhammadiyah yang sederhana, tertib, dan langsung pada inti. Ibu dengan sentuhan NU yang lembut, penuh tradisi, penuh kehangatan budaya. Tidak pernah ada pertentangan. Tidak pernah ada saling meniadakan. Yang ada hanyalah saling melengkapi.

Dan ketika saya memasuki usia sekolah, kedua orang tua saya tidak pernah memaksa harus ikut salah satu. Saya diberi pilihan — NU atau Muhammadiyah.
Sederhana saja, tapi bagi seorang anak, itu adalah bentuk kepercayaan yang besar.

Dan entah bagaimana, sejak kecil saya sudah merasa dekat dengan suasana sekolah Muhammadiyah yang waktu itu sering saya lewati saat menemani ibu saya berjualan di pasar. Mungkin karena melihat kakak-kakak berseragam batik khas Muhammadiyah dengan senyum hangat. Atau mungkin karena saya melihat bagaimana ayah menjalani nilai-nilai Muhammadiyah dengan tenang dan konsisten.

Pada akhirnya, saya memutuskan sendiri.

Sejak TK, saya memilih Muhammadiyah.

TK Aisyiyah Bustanul Athfal Takerharjo: Benih Kecil yang Tumbuh Diam-Diam

Di sinilah semuanya berawal. TK Aisyiyah Bustanul Athfal di Takerharjo.

Saya masih ingat aroma ruang kelas—perpaduan kapur tulis, buku bergambar, dan lantai yang disapu bersih setiap pagi. Saya ingat suara ibu guru yang lembut memanggil nama kami satu per satu. Dan saya ingat momen ketika saya mulai belajar doa-doa kecil, huruf-huruf hijaiyah, serta lagu-lagu sederhana yang kini menjadi nostalgia.

TK ABA bukan hanya tempat bermain dan belajar. Ia adalah halaman pertama dalam buku panjang perjalanan saya bersama Muhammadiyah.

Benih itu ditanam di sini. Benih tentang kemandirian. Tentang keikhlasan. Tentang disiplin yang tidak keras, tapi membentuk.

MI Muhammadiyah 3 Takerharjo: Tempat Saya Belajar Mencari Arah

Ketika masuk MI, dunia saya membesar sedikit. Ada lebih banyak teman, lebih banyak guru, lebih banyak kegiatan. Tapi ada satu hal yang tetap sama: suasananya. Hangat, dekat, dan membimbing.

MI Muhammadiyah 3 Takerharjo adalah sekolah yang tidak hanya mengajarkan pelajaran, tapi juga nilai. Saya belajar mengaji lebih baik, belajar shalat berjamaah, belajar berorganisasi kecil-kecilan, hingga belajar tentang arti tanggung jawab.

Di sinilah saya pertama kali ikut lomba-lomba kecil. Di sinilah saya mulai mengenal arti prestasi—baik yang tercapai maupun yang gagal diraih. Di sinilah saya mulai mengerti bagaimana guru-guru Muhammadiyah mendidik dengan keteladanan yang tidak banyak bicara, tapi terasa dalam setiap tindakan.

Dan tanpa saya sadari, identitas saya mulai tumbuh.

MTs Muhammadiyah 7 Takerharjo: Masa Pencarian Jati Diri

Lalu saya melanjutkan perjalanan ke MTs Muhammadiyah 7 Takerharjo. Masa-masa ini adalah masa mencari arah. Remaja, penuh gejolak, penuh pertanyaan, penuh rasa ingin tahu.

Namun lagi-lagi, lingkungan sekolah Muhammadiyah memberi ruang yang aman. Di sini saya belajar tentang kedewasaan, tentang tanggung jawab yang lebih besar, tentang pergaulan yang lebih luas. Ada teman yang baik, ada juga konflik khas anak remaja, tapi semua menjadi bagian dari pembentukan diri.

Yang paling saya ingat adalah bagaimana sekolah memberikan keseimbangan: Belajar agama dengan cara yang rasional, logis, tapi tetap hangat. Belajar ilmu umum dengan serius, tapi tetap manusiawi. Belajar kehidupan dengan cara yang tidak menggurui.

Di fase ini, saya mulai sadar: Muhammadiyah bukan hanya pilihan sekolah. Muhammadiyah adalah perjalanan hidup.

Mengapa Muhammadiyah Tetap Di Hati?

Ketika saya melihat ke belakang, saya sadar satu hal:

Muhammadiyah telah membentuk cara saya melihat dunia.

Tidak dengan paksaan. Tidak dengan fanatisme. Tidak dengan doktrin.

Tapi dengan pembiasaan. Dengan keteladanan. Dengan lingkungan yang membangun karakter.

Nilai-nilai itu diam-diam menetap:

  • Kesederhanaan.
  • Kemandirian.
  • Kepedulian sosial.
  • Semangat berbenah dan memperbaiki diri.
  • Keikhlasan untuk memberi, bukan mencari pujian.

Itulah napas Muhammadiyah yang sejak awal saya lihat pada sosok Ayah. Dan ternyata, napas yang sama saya temukan di sekolah—dari TK hingga MTs.

Karena itu, ketika hari ini Muhammadiyah merayakan Milad, saya tidak hanya melihatnya sebagai perayaan organisasi besar yang berjasa bagi bangsa. Tapi juga sebagai perayaan perjalanan pribadi saya.

Milad Muhammadiyah: Lebih dari Sekadar Ucapan Selamat

Setiap Milad Muhammadiyah, saya selalu punya perasaan yang berbeda. Ada rasa bangga, ada rasa haru, ada rasa terima kasih.

Bukan hanya karena Muhammadiyah telah menjadi bagian penting dalam pendidikan di Indonesia. Bukan hanya karena amal usaha dan gerakannya telah memberi manfaat bagi jutaan orang.

Tapi karena Muhammadiyah telah menjadi bagian dari saya—dari cara saya berpikir, belajar, bersikap, dan melihat hidup.

Kalau hari ini saya diminta memikirkan kembali keputusan masa kecil saya—ketika memilih apakah ingin bersekolah di NU atau Muhammadiyah—saya tetap akan memilih sama. Bukan karena salah satu lebih baik dari yang lain, tapi karena jalan inilah yang membentuk saya menjadi diri saya hari ini.

Dan untuk itu, saya bersyukur.

Selamat Milad Muhammadiyah

Untuk seluruh guru-guru saya di:

  • TK Aisyiyah Bustanul Athfal Takerharjo
  • MI Muhammadiyah 3 Takerharjo
  • MTs Muhammadiyah 7 Takerharjo

Untuk semua penggerak, kader, dan simpatisan. Untuk seluruh rumah belajar dan amal usaha Muhammadiyah. Untuk seluruh nilai yang telah diajarkan dan diwariskan.

Hari ini saya ingin mengucapkan:

Selamat Milad Muhammadiyah.

Terima kasih telah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya. Terima kasih telah membentuk saya sejak langkah pertama. Terima kasih telah mendidik saya dengan keikhlasan dan keteladanan.

Semoga Muhammadiyah terus tumbuh, terus memberi manfaat, terus menjadi suluh terang yang mencerdaskan dan mencerahkan. Untuk Indonesia, untuk umat, dan untuk siapa saja yang pernah singgah di jalannya—termasuk saya.