Kopi Sisa Istriku
oleh Abi Hartono
Pagi itu, udara masih menggantung dingin di antara tirai yang belum terbuka. Sinar matahari menunggu di luar, tapi Bima belum siap membiarkannya masuk. Di meja makan, secangkir kopi hitam masih mengepulkan sisa hangat. Aromanya memenuhi dapur, bercampur dengan suara tik-tok jam dinding dan bunyi ketel air yang baru saja mati. Kopi itu, seperti hari-hari sebelumnya, bukan miliknya — itu kopi sisa istrinya, Sari.
Sudah dua bulan sejak Sari pergi ke rumah ibunya di Pekalongan untuk merawat sang ibu yang sakit. Dua bulan yang terasa seperti musim panjang tanpa pergantian hari. Awalnya, Bima menandai kalender di kulkas: satu minggu, dua minggu, tiga... lalu berhenti menghitung. Hanya cangkir itu yang masih mengingatkannya pada waktu.
Setiap pagi, sebelum berangkat ke bengkel kecilnya, ia membuat dua gelas kopi: satu untuk dirinya, satu untuk Sari. Kebiasaan lama yang tak ia ubah, meski kursi di depannya kosong. Kadang ia duduk agak lama, menatap cangkir itu sambil berpura-pura Sari masih di dapur, menyapu lantai sambil bersenandung pelan. Kadang ia tersenyum tanpa sebab, lalu meneguk kopinya yang sudah dingin.
“Kalau aku lupa bikin kopi, itu tandanya aku sudah lupa kamu,” begitu katanya dalam hati. Karena bagi Bima, cinta bukan sekadar hadir, tapi tentang mengingat — bahkan saat yang diingat sudah jauh.
Delapan tahun lalu, mereka menikah di masjid kecil dekat rumah. Pernikahan sederhana, hanya keluarga dan beberapa teman. Bima masih ingat betul pagi setelah akad: Sari menyiapkan kopi untuk pertama kalinya. Ia menuangkannya tanpa takaran, hanya mengira-ngira. Rasanya pahit sekali, tapi Bima meneguk habis.
“Kamu gak suka, ya?” tanya Sari dengan wajah cemas. “Suka,” jawab Bima sambil tersenyum. “Pahitnya kayak hidup, tapi bikin melek.” Sejak itu, kopi jadi semacam bahasa kecil di antara mereka — cara untuk berbicara tanpa kata.
Bima dulu tukang servis motor keliling, Sari mengajar TK. Rumah mereka sempit, tapi cukup. Mereka terbiasa menghitung hari sampai gajian, menabung seribu demi seribu. Kadang listrik nyaris diputus, kadang air mampet. Tapi entah kenapa, di antara segala kekurangan itu, selalu ada tawa. Sari punya cara aneh membuat hal sulit terasa ringan. Ia bisa bercanda di tengah hujan bocor atau menertawakan nasi gosong seperti hal lucu di televisi.
“Nanti kalau punya rumah sendiri, kita mau punya jendela besar, biar cahaya masuk banyak,” kata Sari suatu malam, waktu mereka masih kontrak di rumah petak sempit. “Dan halaman kecil buat tanam melati,” sambung Bima. “Melati? Kenapa bukan mawar?” “Karena melati wangi diam-diam. Gak pamer.” “Kayak kamu,” kata Sari, lalu tertawa.
Kini mereka sudah punya rumah sendiri, hasil bertahun-tahun menabung dan menahan banyak keinginan. Tapi rumah itu terasa sepi. Jendela besar benar-benar ada, melati pun tumbuh di pot depan. Hanya saja, keharumannya terasa terlalu sunyi tanpa tawa Sari di dalamnya.
Pada minggu keempat sejak kepergian Sari, Bima mencoba video call. Sari menjawab dengan senyum tipis. “Ibu masih lemah, Mas. Kadang bisa duduk, kadang enggak. Aku takut kalau aku pulang dulu, malah nyesel nanti.” “Aku ngerti,” kata Bima. “Yang penting kamu jaga diri. Jangan lupa makan.” “Kamu juga. Jangan cuma kopi.” Mereka tertawa pelan. Tapi setelah panggilan ditutup, Bima menatap layar ponsel lama-lama, berharap wajah itu tak menghilang terlalu cepat.
Sejak itu, setiap malam ia tidur sambil menyalakan lampu kecil di samping ranjang. Katanya, kalau lampu padam, rumah terasa terlalu besar. Ia bahkan masih menyiapkan piring dua buah di meja makan, meski hanya satu yang terpakai.
Suatu sore, ia menemukan kemeja Sari tergantung di belakang pintu kamar. Masih beraroma sabun cuci. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kain itu lama sekali. Ada keinginan aneh untuk berbicara, seolah baju itu bisa mendengar. “Aku kangen kamu, Ri,” bisiknya. Kalimat itu menggantung di udara, tapi tidak jatuh. Seperti asap kopi yang tak pernah benar-benar hilang.
Malam itu hujan turun deras. Bima menutup jendela, lalu duduk di dapur. Ia menyalakan air panas, menuang kopi ke dua gelas seperti biasa. Di luar, suara air memukul genting seperti lagu lama yang tak selesai. Ia menatap kursi di depannya — kosong, tapi terasa penuh.
Kenangan itu datang pelan, seperti bayangan di kaca. Ia teringat pagi-pagi di mana Sari menjemur baju sambil menyapa tetangga. Teringat caranya memotong roti dengan cara miring — katanya supaya ujungnya renyah. Teringat juga pertengkaran kecil soal remot televisi, yang selalu berakhir dengan tawa.
Bima meneguk kopinya. Dingin. Ia menatap gelas satunya, masih mengepul. Lalu entah kenapa, tangannya terulur dan meneguk sedikit. Rasanya pahit — terlalu pahit. Tapi di balik pahit itu, ada rasa yang ia kenal: kehadiran. Seolah Sari baru saja pergi sebentar untuk mengambil cucian, dan akan kembali sebentar lagi.
Pada momen itu, Bima tersadar sesuatu: cinta, kadang tidak memerlukan kehadiran. Ia hanya perlu tempat untuk tinggal — dan di rumah ini, cinta itu masih tinggal, meski langkah kaki sudah menjauh.
Dua minggu kemudian, kabar datang lewat pesan singkat. Ibu Sari meninggal dunia. Bima segera berangkat ke Pekalongan. Di rumah duka, Sari memeluknya lama tanpa suara. Tidak ada kata-kata yang cukup, hanya genggaman yang menahan semua rapuh. Malam itu mereka duduk berdua di serambi rumah, menatap langit yang gelap. “Aku capek, Mas,” bisik Sari. “Aku tahu,” jawab Bima. “Aku sempat mikir... kalau ibu pergi, aku bakal kehilangan arah.” “Kalau kamu kehilangan arah, aku jadi peta-nya.”
Sari tersenyum. Tangannya menggenggam cangkir teh hangat, dan Bima menatapnya dengan lega yang campur sedih. Ia tahu, perjalanan pulang nanti akan berbeda. Tapi setidaknya, mereka akan pulang bersama.
Dua bulan setelah itu, Sari kembali ke rumah. Rambutnya kini sedikit lebih pendek, kulitnya lebih pucat. Tapi senyum itu masih sama — senyum yang bisa membuat rumah terasa utuh lagi. Ia berdiri di dapur pagi-pagi, menyiapkan dua cangkir kopi.
“Mas, kamu masih ingat cara bikin kopi buat aku?” tanyanya. “Masih,” jawab Bima. “Tapi rasanya selalu salah.” “Kenapa?” “Karena tanpa kamu, air panasnya dingin.”
Sari tertawa kecil, lalu menyeruput kopinya. “Kamu ini makin puitis aja, Mas. Padahal dulu kamu paling malas nulis puisi.” “Mungkin karena sekarang aku tahu rasanya kehilangan.”
Mereka duduk berdua di meja makan. Jendela besar di ruang depan membiarkan cahaya masuk, menerpa wajah mereka yang mulai menua. Di luar, melati yang dulu mereka tanam sudah berbunga. Wangi diam-diam, seperti dulu.
Sari menatap cangkirnya yang sudah setengah kosong. “Kopi pagi ini enak,” katanya. “Padahal cuma kopi biasa.” “Iya, tapi yang bikin istimewa itu siapa yang minum bareng.” Bima mengangguk, matanya hangat. “Dan siapa yang ninggalin sisanya,” tambahnya.
Mereka tertawa, lama. Di antara aroma kopi, cahaya pagi, dan melati di luar jendela, waktu terasa berhenti sejenak. Seolah hidup memberi mereka hadiah kecil: kesempatan untuk merasa cukup, bahkan hanya dengan secangkir kopi yang tersisa.
Beberapa tahun kemudian, ketika rambut mereka mulai memutih dan suara ayam tetangga tak lagi membangunkan dengan keras, Bima masih sering duduk di meja makan yang sama. Sari kadang sudah lebih dulu bangun, kadang belum. Tapi cangkir di depannya selalu ada dua. Kadang keduanya penuh, kadang hanya satu yang terisi.
Dan pada pagi-pagi tertentu, ketika sinar matahari menembus tirai dengan lembut, Bima menatap cangkir itu dan tersenyum. Ia tahu, bahkan jika suatu hari hanya satu dari mereka yang masih meneguk kopi, cinta itu tetap akan ada — diam, hangat, dan wangi, seperti melati di halaman rumah mereka.
Karena cinta, pada akhirnya, bukan tentang siapa yang pergi lebih dulu, tapi siapa yang tetap menyiapkan kopi setiap pagi.

Gabung dalam percakapan