Hari Itu, Anak Saya Mulai Menjadi Perempuan

Tanggal 8 Mei 2025 akan selalu saya ingat sebagai salah satu hari paling lembut dalam hidup saya. Hari itu, anak pertama saya—yang selama ini saya lihat sebagai bocah kecil ang riang—pulang ke rumah dengan mata sembap. Ia berdiri di depan pintu, memeluk saya erat, dan dengan suara bergetar berkata, “Ayah… aku nggak mau mens.”

Kalimat itu membuat saya terdiam. Sebagai ayah, saya tidak pernah benar-benar tahu bagaimana harus bersikap di momen seperti itu. Saya tahu hari itu akan tiba suatu saat nanti—momen ketika tubuh anak saya memberi tanda bahwa ia sedang beranjak menjadi perempuan muda. Tapi ketika hari itu datang sungguh-sungguh, rasanya campur aduk: haru, gugup, bangga, sekaligus… takut kehilangan sesuatu yang tak terlihat.

Ia masih berseragam sekolah, tasnya belum sempat dilepas. Saya ajak duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan. Tangisnya masih pecah-pecah. Ia bercerita kalau di sekolah tadi, ia merasa malu dan takut. Katanya, ada bercak di rok, dan ia tak tahu harus berbuat apa. Beberapa temannya berbisik-bisik, membuatnya semakin canggung. “Aku belum siap jadi gede, Yah,” ujarnya lirih.

Kalimat itu menghantam saya tepat di dada. Karena, sejujurnya, saya pun belum siap. Saya masih sering melihatnya sebagai bocah yang minta digandeng saat menyeberang jalan, yang suka merengek minta es krim, yang selalu berlari memeluk saya saat saya pulang kerja. Tapi hari itu, saya tahu bahwa waktu tidak lagi menunggu. Ia sedang tumbuh, dan saya harus belajar menyesuaikan langkah.

Saya tak banyak bicara sore itu. Saya hanya menatapnya lama-lama, lalu berkata pelan, “Nggak apa-apa takut, Nak. Semua orang pasti takut waktu pertama kali mengalami hal baru.” Ia mengangguk, masih dengan air mata di pipi. Saya usap kepalanya, mencoba menyalurkan ketenangan yang bahkan saya sendiri sedang cari.

Sebagai ayah, saya sadar bahwa ada wilayah-wilayah dalam kehidupan anak perempuan yang tidak sepenuhnya bisa saya pahami. Tapi bukan berarti saya tak bisa hadir. Saya bisa mendengarkan. Saya bisa memastikan bahwa rumah ini selalu menjadi tempat paling aman untuknya bercerita, menangis, dan tumbuh tanpa takut dihakimi.

Mens Pertama

Tentang Tak Siapnya Kami Berdua

Malam itu, setelah ia tenang, kami berbincang sedikit di kamar. Ia bertanya apakah ini artinya ia sudah “dewasa”. Saya tersenyum kecil. “Dewasa itu bukan karena tubuhmu berubah,” saya bilang. “Tapi karena kamu belajar memahami dirimu, dan belajar menghargai perubahan itu.” Ia terdiam, lalu berbisik, “Aku masih ingin jadi anak Ayah.” Saya menjawab, “Kamu akan selalu jadi anak Ayah, sampai kapan pun.”

Setelah ia tidur, saya duduk di ruang tamu lama sekali. Banyak hal melintas di kepala. Saya teringat hari pertama kali ia bisa berjalan, hari pertama ia masuk sekolah, dan hari ketika ia jatuh lalu berlari ke arah saya sambil menangis. Semua terasa seperti baru kemarin. Tapi kini, ia sedang berdiri di ambang gerbang masa remajanya—dunia yang akan membawa lebih banyak tawa, tapi juga lebih banyak air mata.

Peran Ayah yang Berubah Perlahan

Saya tahu, sebagai ayah, peran saya akan sedikit berubah. Dulu, saya bisa melindunginya dari hampir semua hal. Sekarang, saya hanya bisa menjadi tempatnya pulang setelah ia berhadapan dengan dunia luar. Ia akan punya rahasia yang tak semuanya bisa saya ketahui, dan itu bukan tanda menjauh—itu tanda bahwa ia sedang belajar menjadi dirinya sendiri.

Terkadang, kita para orang tua lupa bahwa anak-anak tidak tumbuh dengan izin kita. Mereka tumbuh dengan waktu. Tugas kita bukan menahan, tapi menemani. Bukan mengatur arah angin, tapi memastikan layar mereka cukup kuat untuk berlayar sendiri suatu hari nanti.

Pelajaran dari Darah Pertama

8 Mei 2025 menjadi pengingat lembut tentang hal itu. Bahwa menjadi orang tua bukan tentang menjaga anak agar tetap kecil selamanya, tapi tentang belajar merelakan setiap tahap pertumbuhannya—dari langkah pertama, hingga darah pertama. Setiap “pertama” memang selalu mengguncang, tapi juga selalu indah dengan caranya sendiri.

Saya menulis ini bukan hanya untuk mengenang hari itu, tapi juga sebagai catatan kecil bagi para ayah di luar sana. Barangkali kita tidak selalu tahu harus berkata apa ketika anak perempuan kita menghadapi hal-hal seperti ini. Tapi percayalah, kehadiran kita saja sudah berarti banyak. Pelukan, senyum, dan kalimat sederhana “Ayah di sini” bisa lebih kuat daripada seribu nasihat.

Anak Perempuan dan Ayah yang Belajar

Anak perempuan kita tidak hanya butuh ibu yang memahami, tapi juga ayah yang hadir—yang mau belajar, meski canggung. Karena bagi mereka, rasa aman pertama selalu lahir dari rumah, dari tangan yang dulu pertama kali menggendong mereka, dan dari suara yang berkata, “Semua baik-baik saja, Nak.”

Sekarang, setiap kali saya melihatnya bersiap ke sekolah, sudah dengan cara bicara yang sedikit lebih dewasa, saya selalu teringat hari itu. Hari ketika ia menangis karena merasa kehilangan masa kecilnya, dan saya ikut menangis diam-diam karena menyadari bahwa saya pun sedang kehilangan sedikit dari masa saya sebagai ayah dari “anak kecil”.

Tapi di balik kehilangan itu, ada kebanggaan yang tumbuh diam-diam. Karena saya tahu, ia sedang melangkah ke babak baru dengan keberanian yang lahir dari kasih yang kami bangun bersama selama ini. Dan mungkin, begitulah cara waktu bekerja: ia mengambil satu hal dari kita, tapi selalu menggantinya dengan sesuatu yang lebih berharga.

8 Mei 2025 — hari ketika anak saya mulai menjadi perempuan. Hari yang membuat saya belajar menjadi ayah dengan cara yang baru.