Sumpah Pemuda dan Janji yang Masih Relevan
Ada momen di mana setiap tanggal di kalender terasa biasa saja. Tapi ada juga tanggal yang, entah kenapa, selalu membuat hati bergetar pelan.
Bagi saya, 28 Oktober adalah salah satunya.
Hari di mana bangsa ini dulu berdiri tegak lewat kata-kata. Hari di mana pemuda-pemuda mengucap janji besar yang mengubah arah sejarah: Sumpah Pemuda.
Seiring waktu, peringatan itu sering terasa jauh. Kita mendengarnya di sekolah, membaca ulang di media sosial, atau menonton upacara singkat di televisi. Tapi semakin bertambah pengalaman hidup, semakin saya menyadari — Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah. Ia adalah refleksi tentang siapa kita sekarang, dan tentang janji-janji yang barangkali masih perlu kita tepati, bahkan sebagai orang dewasa yang rambutnya mulai memutih di sisi kepala.
Tentang Janji yang Dulu Sederhana, Tapi Tak Pernah Selesai
Ketika para pemuda tahun 1928 itu mengucapkan tiga kalimat sederhana — satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa — mungkin mereka tidak tahu bahwa janji itu akan terus diuji selama hampir satu abad berikutnya.
Karena di balik tiga kalimat itu, ada satu hal yang tak terlihat tapi paling berat: komitmen untuk tetap bersatu dalam perbedaan.
Sebagai seseorang yang kini lebih sering duduk di antara tanggung jawab, pekerjaan, dan keluarga, saya semakin bisa memahami betapa sulitnya menjaga "satu" dalam kehidupan.
Satu visi di rumah tangga.
Satu semangat di tempat kerja.
Satu hati ketika berhadapan dengan dunia yang serba cepat dan saling bersaing.
Kadang saya berpikir, para pemuda 1928 itu luar biasa. Mereka tak punya fasilitas seperti kita — tak ada ponsel, tak ada internet — tapi mereka punya tekad yang bahkan sulit ditemukan di zaman yang serba mudah ini.
Menemukan Kembali Api Kecil Itu
Saya masih ingat ketika pertama kali mendengar teks Sumpah Pemuda dibacakan di sekolah. Suaranya lantang, tapi di kepala saya saat itu, artinya belum sungguh-sungguh tertanam.
Sekarang, maknanya terasa jauh lebih dalam.
Barangkali karena semakin tua, saya mulai paham bahwa "sumpah" bukan hanya ucapan yang gagah, tapi janji yang menuntut bukti.
Dan pemuda bukan semata urusan umur, tapi tentang semangat untuk terus percaya bahwa sesuatu yang lebih baik selalu mungkin terjadi.
Kalau dulu para pemuda bersatu melawan penjajahan, mungkin tantangan kita sekarang adalah melawan keacuhan.
Kita terlalu sering sibuk pada diri sendiri — pada layar, pada notifikasi, pada pencapaian pribadi — hingga lupa bahwa bangsa ini juga butuh dijaga bersama.
Bukan dengan senjata, tapi dengan empati.
Bukan dengan teriakan, tapi dengan tindakan kecil yang konsisten.
Sumpah di Era Digital: Menjaga Warna di Tengah Bising
Kita hidup di masa di mana opini begitu mudah dilontarkan, tapi komitmen sulit diwujudkan.
Setiap hari media sosial menampilkan ribuan pandangan — sebagian menginspirasi, sebagian memecah.
Kadang saya merenung, bagaimana jika semangat Sumpah Pemuda hidup di era ini?
Mungkin mereka tidak akan mengibarkan bendera di jalan, tapi menulis dengan jujur di internet.
Mungkin mereka tidak berorasi di lapangan, tapi berani menjaga integritas di dunia maya.
Mungkin mereka tidak menyatukan bahasa lewat kongres, tapi lewat cara mereka berkomunikasi yang tetap santun di tengah perbedaan pendapat.
Bagi saya, menjadi pemuda — atau tetap berjiwa muda — hari ini artinya berani menjaga keutuhan di dunia yang suka membelah.
Berani mendengarkan sebelum menilai.
Berani memahami sebelum menghakimi.
Karena bangsa ini tidak hanya butuh orang pintar, tapi juga orang yang tulus.
Belajar dari Masa Lalu, Bertumbuh di Masa Kini
Ada satu hal yang saya pelajari dari usia dan waktu: semangat kepemudaan tidak harus selalu berteriak.
Kadang, ia hadir dalam bentuk yang lebih tenang — seperti ayah yang bekerja keras tanpa banyak bicara, guru yang tetap sabar mengajar meski gajinya pas-pasan, atau anak muda yang diam-diam menolak korupsi kecil di tempat kerjanya.
Mereka semua sedang meneruskan semangat Sumpah Pemuda dalam wujud yang berbeda.
Saya pun berusaha meneladani hal itu, walau tidak selalu sempurna.
Ada kalanya saya masih merasa lelah, pesimis, bahkan sinis terhadap keadaan negeri ini. Tapi setiap kali melihat anak-anak sekolah menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan suara polos dan semangat, saya kembali diingatkan:
Perjuangan belum berakhir.
Kita hanya sedang meneruskan estafetnya.
Menjadi Bagian dari “Satu” di Zaman yang Serba “Aku”
Sumpah Pemuda mengajarkan kita untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri.
Dan itulah yang menurut saya semakin langka hari ini.
Kita hidup di zaman “aku”: aku ingin ini, aku merasa itu, aku tidak suka ini.
Namun bangsa tidak dibangun dengan kata “aku”, tapi dengan “kita”.
Maka mungkin tugas generasi kita sekarang adalah belajar menyeimbangkan — bagaimana tetap menjadi diri sendiri tanpa kehilangan rasa kebersamaan.
Bagaimana tetap berpendapat tanpa kehilangan hormat.
Bagaimana tetap berbeda tanpa perlu saling menjatuhkan.
Bagi saya pribadi, Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah yang dihafal, tapi ajakan untuk hidup dengan rasa memiliki — terhadap bangsa, terhadap sesama, terhadap masa depan.
Menutup dengan Harapan yang Sederhana
Setiap kali Oktober tiba, saya suka menulis sedikit catatan untuk diri sendiri:
Apakah saya masih punya semangat yang sama seperti mereka yang berikrar hampir seabad lalu?
Apakah saya masih menjaga api kecil itu di hati saya sendiri?
Karena mungkin, menjadi “pemuda” di masa kini bukan lagi soal usia muda, tapi tentang tidak menyerah terhadap idealisme.
Tentang tetap percaya bahwa perubahan dimulai dari hal-hal kecil yang bisa kita lakukan setiap hari — dari cara kita bekerja dengan jujur, mendidik anak dengan kasih, hingga menebar kebaikan di lingkungan sekitar.
Dan mungkin, bila kita semua memegang sedikit saja dari semangat itu, maka janji Sumpah Pemuda akan tetap hidup — bukan hanya dalam teks pidato, tapi dalam cara kita menjalani hidup sebagai manusia Indonesia.
Penutup: Satu Jiwa, Satu Bahasa, Satu Rasa
Sumpah Pemuda tidak pernah diminta untuk disembah, tapi untuk dihidupi.
Ia bukan hanya tentang sejarah masa lalu, tapi tentang kesetiaan masa kini.
Tentang bagaimana kita memaknai arti menjadi bagian dari “satu” bangsa, di tengah dunia yang semakin memisahkan.
Dan pada akhirnya, setiap dari kita — entah muda atau tua, di kota atau di desa — punya peran untuk menjaga janji itu.
Bukan dengan kata-kata besar, tapi dengan tindakan kecil yang konsisten.
Karena bangsa besar tidak lahir dari sumpah yang lantang, tapi dari warganya yang tetap setia menepati janji-janji kecil setiap hari.

Gabung dalam percakapan