Surat Cinta untuk Mama, di Tahun ke-14 Pernikahan Kita
Empat belas tahun. Kalau dihitung dengan kalender, mungkin terlihat seperti deretan angka. Tapi bagi Abi, empat belas tahun ini adalah perjalanan yang pelan tapi dalam — perjalanan dua hati yang belajar berjalan beriringan tanpa perlu saling mendahului.
Abi masih ingat jelas sore itu, dua November dua ribu sebelas. Hari di mana Abi dan Mama berdiri di depan penghulu, saling mengucap janji sederhana — untuk bersama, dalam keadaan apa pun. Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana hidup setelah itu akan berjalan. Tapi ternyata, dari semua hal yang berubah dalam hidup, satu yang tetap sama: Abi masih mencintai Mama dengan cara yang sama, bahkan mungkin lebih tenang, lebih dalam.
Kita tidak pernah punya kisah besar yang penuh pertengkaran atau drama. Tidak ada pintu dibanting, tidak ada kata yang meninggalkan luka. Kalau pun ada marah, kita memilih diam. Kalau pun ada salah paham, kita biarkan waktu dan kelembutan yang menyelesaikan. Dan entah bagaimana, cara sederhana itu selalu berhasil membuat kita kembali saling menatap dengan senyum kecil.
Tentang Cinta yang Tumbuh Bersama Waktu
Mungkin memang begitulah cinta yang tumbuh bersama waktu. Semakin lama, semakin tidak butuh pembuktian. Tidak butuh ucapan manis setiap hari, cukup saling tahu bahwa di antara segala sibuk dan diam, ada seseorang yang selalu menjaga perasaan kita dengan hati-hati.
Abi sering berpikir, hidup bersama Mama itu seperti pulang ke rumah setiap hari — tidak selalu ramai, tapi selalu menenangkan. Mama adalah keheningan yang membuat hati terasa penuh. Mama adalah alasan mengapa rumah ini tidak pernah benar-benar sepi, bahkan ketika dunia di luar sedang berisik.
Empat Belas Tahun dan Rasa yang Tetap Sama
Empat belas tahun ini mengajarkan banyak hal. Bahwa cinta bukan tentang besar kecilnya momen, tapi tentang ketulusan yang tidak pernah usai. Tentang bagaimana dua orang bisa tumbuh tanpa saling menuntut, hanya saling memahami. Dan tentang betapa indahnya hidup ketika seseorang mencintai bukan karena sempurna, tapi karena menerima apa adanya.
Terima kasih, Mama. Untuk setiap hari yang terasa ringan karena hadirmu. Untuk setiap sabar yang tidak pernah habis, dan setiap tawa yang membuat lelah terasa hilang. Abi tidak tahu apa rahasia kebahagiaan kita, tapi kalau boleh menebak — mungkin karena kita selalu memilih untuk tetap memeluk, bukan berdebat.
Selamat ulang tahun pernikahan, Mama. Empat belas tahun telah kita lalui, dan semoga masih banyak tahun lain yang menunggu di depan — dengan cerita yang sama hangatnya, sama lembutnya, sama tenangnya seperti hari ini.
Dengan cinta yang sama,
Abi

Gabung dalam percakapan